Tahun ini saya mulai serius nerapin hidup miskin sampah, belum bisa zero. Berbagai upaya sederhana yang berdampak besar bagi lingkungan jika kontinu. Sengaja di bold untuk penekanan, sebab godaan dan tantangannya besar.
Dan ini kali pertama saya menerapkan less waste di hari kemenangan. Ngebayanginnya sulit apalagi dilingkungan yang ngak mendukung usaha ini. Sebenarnya sih lingkungan dukung apa gak itu bukan masalah jika komitmen udah mantap.
Masalahnya ada dipikiran sendiri bisakah menghalau gengsi bahwa lebaran ke model lama itu bukan hal yang aneh. Maksudnya adalah semenjak jaman canggih orang pun berubah dalam menyambut lebaran.
Kepraktisan seolah jadi keniscayaan, gelas sudah menjadi pajangan. Teko dan ceret barang langka dirumah dan minuman kaleng, botol karbonasi dan minuman gelas kini primadona.
Kesemua penghilang dahaga itu seolah menjadi hal wajib disetiap rumah layaknya kehadiran kue kering yang mengisi toples-toples. Malahan kesan dihati lebaran belum wah? Pernahkah mikir kayak gitu?
Awalnya saya mikir gitu, setiap bertamu disajikan berbagai jenis minuman. Kita tinggal milih mana yang suka, layaknya jadi raja bebas minum yang dikehendaki. *Senang banget ya.
Ketika mampir dihari raya idul fitri ke rumah yang biasa aja dengan standar minuman gelas, kok rasanya tuan rumahnya pelit.
Padahal itu belum tentu benar kok, pembiasaan melihat keberadaan mereka (minuman) membuat kita gampang menilai orang. Jika diibaratkan martabak spesial, rasanya tetap enak tapi ada yang kurang.
Beruntung saya tak terjebak disituasi tersebut penyebabnya dari dalam rumah tangga (semasa kecil) ngak dibiasakan, dampak minuman tersebut bagi kesehatan dan alasan lainnya adalah zalim sama bumi. Semakin banyak jenis yang disediakan makin banyak pula sampahnya.
Tanpa mempedulikan gunjingan orang saya memilih jalan sendiri, tradisi lebaran tetap jalan tapi less waste dimulai dari minuman. Saya tidak menyediakan aneka rasa dan bentuk penghilang dahaga tersebut. Cukup dengan 10 buah air gelas kemasan selebihnya bikin teh dan sirup aja.
Nyetok sirup dan teh ,terkesan kuno tapi biarlah demi menjaga lingkungan. Tak banyak sisa komsumsi dan botol sirop pun bisa direuse.
Saat nyajikan keduanya para tamu masih doyan kok meminumnya. Tapi saya jadi ada tugas tambahan, mencuci gelas. Gitu deh resiko menempuh jalan yang ribet.
Selain minuman, yang bikin sampah adalah plastik bungkus kue. Banyak jenis yang dibeli bungkusnya pun banyak, plastik biasa bisalah kita gunakan lagi atau seengaknya jadi ecobrik.
Berbeda dengan bahan mika, agak sulit di reuse dan ngak bisa ecobrik. Solusinya dibikin kerajinan tangan, masalahnya saya lagi ngak mood bebikin. Daripada masuk tempat sampah dan entah kapan hancurnya lebih baik dicegah dari awal kan?
Caranya dengan membeli bahan dasar kue itu yaitu tepung dan bikin sendiri. Dari 2kg tepung bisa dapat beberapa macam kue kering dan kita hanya nyampah 2 plastik aja.
Baca: menembus batas dalam menyiapkan tradisi lebaran
Puncak dari less waste saya yang saya lakukan dan bikin si uda gelang -geleng adalah ngak beli baju sama sekali. Diawal puasa saya bikin komitmen merasa cukup dengan baju yang ada.
Beberapa kali uda menanyakan keputusan saya seolah ngak yakin gitu. Perempuan suka dengan fashion dan malahan menjadikannya sebagai gaya hidup, kini saya keukeh dengan pilihan.
Hasilnya saya ngak merasa terbebani kok, lebaran tanpa baju baru sama aja rasanya. Mungkin karena pola pikir udah diubah diawal. Alhamdulillah saya menang dihari kemenangan.
Your the bbest
ReplyDelete