Saturday, 13 February 2021

Memanusiakan Manusia Melalui Zero Waste Cities

gaya hidup nol sampah (zero waste lifestyle).

Pertumbuhan penduduk yang meningkat dengan cepat ditambah pola hidup semakin komsumtif berbanding lurus dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Tak mengherankan jika tidak masalah ini tidak pernah usai malahan makin semerawut. Aktivitas kehidupan seperti makan minum tidur akan menghasilkan barang yang akan dipakai dan kemudian menghasilkan sisa produksi. Tak hanya itu saja kadang gaya hidup pun juga menghasilkan barang sisa yang tidak diinginkan atau tidak berguna. Siklusnya adalah dipakai sehingga menghasilkan zat sisa kemudian dibuang, sayang ketersediaan tenaga tukang sampah dan tempat pembuangan (TPA) tidak sebanding sehingga masalah tak pernah usai.

Memanusiakan manusia dengan memilah sampah

Jika dulu buanglah sampah pada tempatnya sebagai bentuk himbauan agar tidak membakar atau membuang ke sungai, kini itu takkan berguna. Maksudnya lingkungan bersih dan indah tapi tidak dengan tempat penampungan. Tumpukan sampah TPA akan menjadi masalah baru, masih ingat dengan tragedi Leuwigajah? Saat Gunungan sampah memakan korban karena kapasitas penampungan tidak mencukupi.

Baca : upaya menghidupkan siklus material di kawasan dengan zero waste Cities

Mungkin saat ini kita harus mengganti tulisan buang sampah pada tempatnya dengan memilah sampah sebelum dibuang. Jadi kita  harus memisahkan sampah organik (mudah membusuk) dan non organik. Sampah organik terutama dari rumah tangga akan dipilih untuk dikomposkan sedangkan yang lainnya akan di daur ulang sehingga bisa punya potensi nilai ekonomi.  Ketika melaksanakannya maka hanya sisa residu saja yang memasuki TPA dan bahkan jumlah yang masuk lebih sedikit dari biasanya.

Sampah yang berujung ke TPA akan mencemari lingkungan. Air Lindi akan masuk ke dalam air tanah dan mencemari air yang akan  digunakan. Tak cukup sampai disitu saja, pencemaran gas metana dari sampah organik yang tertimbun. Harusnya bisa didaur ulang kini sudah terkontaminasi dengan banyak. Masalah sampah juga terkait dengan sosial maksudnya adalah manusia.

Pernahkah kita berpikir jika tidak memilah sampah dari rumah itu sama saja  menyusahkan orang lain. Apakah tega kita membiarkan petugas sampah harus bergelut dengan bau dan kotor? Ketika mereka menerima sampah sudah bersih, terpilah dan rapi, pekerjaannya jauh lebih ringan dan bau tidak begitu menyengat, demikianlah pengakuan petugas sampah yang tidak lagi merasa dijauhi ketika mereka naik angkot.

Ketika memilah sampah dari rumah berarti kita telah memanusiakan manusia. Kita telah meringankan pekerjaan mereka bahkan memberikan kebahagiaan kecil. Bukankah setiap orang harus punya tanggung jawab terhadap apa yang dikonsumsinya. dan 

Zero waste lifestyle Indonesia


Zero waste cities sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup petugas sampah 

Solusi yang tepat untuk mengatasi masalah sampah yang efektif dan murah tanpa menggunakan teknologi adalah gaya hidup nol sampah (zero waste lifestyle).  selain itu juga, penanganan sampah pun harus dimulai dari hulu. Maksudnya dari sumbernya yaitu rumah.

Keberhasilan program pengelolaan sampah harus melibatkan semua pihak yang terdiri dari stakeholder (Masyarakat, Pemerintah). Masalah sampah merupakan masalah bersama. 

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang  mendukung perbaikan pengelolaan sampah yang tercantum pada UU No. 18 tahun 2008 dan PermenLHK No. 75 tahun 2019 serta  UU No. 18 tahun 2008. Saat ini ada sebuah program bernama Zero Waste Cities, sebuah bentuk pengelolaan sampah dari sumber dan dilakukan secara desentralisasi dalam skala kewilayahan. Program ini bertujuan untuk mengurangi beban sampah menuju TPA. Di 

Program Zero Waste Cities diinisiasi oleh Mother Earth Foundation di Filipina. YPBB telah mereplikasi dan menyesuaikan dengan kondisi di wilayah masing-masing sejak tahun 2017 di tiga kota, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Tahun 2019 program Zero Waste Cities telah menambah lingkup kotanya ke Denpasar dan Surabaya yang akan dijalankan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) serta Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton). Di Bandung, kita mengenal program Kang Pisman dan daerah Cimahi bernama Barengras. 

Zero waste Cities dan memanusiakan manusia dalam hal ini adalah petugas pengangkutan sampah di lingkungan tersebut, caranya dengan memilah sampah dari rumah masing. Ketika mereka datang dengan gerobaknya sampah akan terbagi 2yaitu organik itu masuk ember petugas dan non organik pada karung. Setelah itu sampah organiknya dikomposkan hari itu juga. Ternyata usaha sederhana ini berarti bagi petugas mereka mendapatkan keuntungan seperti :

  • Gerobak sampah mereka lebih awet sebab air Lindi tidak lagi mengotori  gerobak dan roda. 
  • Beban kerja tidak berat, sampah yang diangkut ke TPS jadi lebih sedikit
  • Terhindar dari kecelakaan kerja, sampah yang berbahaya seperti kaca dan tusuk sate sudah disisihkan oleh pemilik rumah sebelum diangkut
  •  percampuran sampah organik dan non-organik menimbulkan bau, air Lindi dan gas metana. Kini tangan mereka tidak perlu lagi bersentuhan langsung dengan air lindi dan tidak menghirup bau busuk
  • Sampah non organik bisa jadi nilai ekonomi. Sebelum dipilah akan tercampur dan itu berbahaya bagi kesehatan lantaran udah tercemar. Ternyata sampah organik yang tidak bersih tidak diterima oleh bank sampah.
  • Mendapatkan insentif tambahan, beberapa tempat yang menerapkan ZWC akan memberikan apresiasi kepada petugas sampahnya lantaran ada kerja tambahan yaitu mengompos.

Tanpa mereka lingkungan tidak akan bersih jadi sudah sepantasnya memanusiakan orang-orang yang telah berjasa dalam mengelola sampah. Upaya penerapan gaya hidup nol sampah (zero waste lifestyle) dimulai dengan pemilahan terus menerus sampah dari rumah maka jumlah yang masuk TPA sedikit sehingga pelan tapi pasti permasalahan sampah bisa teratasi


1 comment:

Hai... silahkan tinggalkan pesan dan tunggu saya approve ya...
terima kasih udah berkunjung